#Debat Pilpres
Explore tagged Tumblr posts
Text
Optimisme Gibran!! Tidak Ada Lawan Berat dalam Persaingan Cawapres Pilpres 2024
– HOT NEWS!! Dalam menghadapi debat Pilpres 2024 yang akan digelar pada Jumat (22/12/2023), calon Wakil Presiden nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka, terlihat sangat percaya diri. Gibran menegaskan bahwa tidak ada lawan yang dianggap berat dan menakuti dalam debat khusus cawapres tersebut. “Nggak, nggak ada,” tegas Gibran saat ditanya tentang adanya calon Wakil Presiden yang dianggap berat dan…
View On WordPress
#Anies Baswedan#Debat 2 capres - cawapres#debat capres#debat capres-cawapres#debat pilpres#debat pilpres 2024#Ganjar Pranowo#Gibran rakabuming raka#KPU#menuju pemilu 2024#Pemilu 2024#pilpres 2024#Prabowo SUbianto
0 notes
Text
Moderator dan Panelis Tak Akan Ajukan Pertanyaan Pendalaman saat Debat Pilpres
JAKARTA – Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari mengemukakan moderator dan panelis tidak akan memberi pertanyaan pendalaman kepada masing-masing calon presiden (capres) saat debat. Pada debat yang akan digelar besok, masing -masing capres akan memilih pertanyaan secara acak dari 18 pertanyaan yang sudah disiapkan oleh 11 orang panelis. Kemudian, pertanyaan tersebut akan dibacakan oleh…
View On WordPress
0 notes
Text
Debat dan Kampanye Pilpres BEM UNG Diharap Berlangsung Aman
Hargo.co.id, GORONTALO – Wakil Rektor II Universitas Negeri Gorontalo (UNG) Dr. Moh. Hidayat Koniyo, berharap Pemilihan Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UNG berlangsung aman. Hal tersebut disampaikannya sesaat sebelum dilaksanakannya debat pertama Capres dan Cawapres BEM UNG, Jumat (26/4/2024). “Yang terpenting adalah pemilihan capres dan cawapres ini berjalan dengan aman, adil, jujur,…
View On WordPress
0 notes
Text
On Presidential Debate, On Democracy, and On Ethics
Suatu hari di tahun 2018, salah satu dosen saya, Pak Luthfi, masuk kelas lalu berdiri sambil menyandarkan badannya ke meja, menghadap kami, lalu beliau misuh-misuh soal penyelenggaraan debat pilpres 2019:
“Ngapain debat pilpres ada iklan-iklan segala. Pembukaannya panjang banget. Debat pilpres itu harusnya satset. Bukan malah ajang dapetin sponsor dan iklan.”
Pak Luthfi lalu melanjutkannya dengan cerita debat pilpres di Amerika dan Inggris. Bagaimana penyelenggaraannya full non-stop 3 jam tanpa iklan, tanpa pembukaan bertele-tele, dan saling serang argumen. Saya mulai membayangkan juga seharusnya debat itu seperti apa.
Bagian 1: On Presidential Debate
Selalu, di kepala saya, debat itu seperti di dalam program Mata Najwa. Tidak kaku, saling bantah argumen, bahkan saling tunjuk-menunjuk. Memberikan posisi jelas dan memberikan logika hebat tentang kesalahan lawan. Moderator bukan hanya melempar pertanyaan, tapi ikut memanaskan suasana dengan berulang-ulang melakukan re-check, klarifikasi, bahkan bisa sampai memberikan bantahan kepada jawaban peserta. Bayangkan, bahkan moderator membawa data sendiri! Kenapa? karena, kita harus sama-sama setuju, bahwa fungsi debat adalah “menguji” argumen. Poin 1: Debat bukan hanya ajang kampanye. Kalau cuma ingin “menyampaikan gagasan”, di baliho saja cukup, satu arah. Tapi fungsi debat justru, yaa, debate.
Sampai debat 2024 ini, saya masih bingung untuk apa fungsi moderator debat. Saya membaca di salah satu komentar sosmed, “Kalau cuma bacain soal, tukang becak pun bisa.”. Mungkin ada yang bilang, fungsi moderator untuk menjadi pengatur suasana supaya tetap tertib. Betul, memang ada tata tertib acara. Betul juga, memang moderator berkali-kali menjadi penenang suasana, mengangkat tangan lalu bilang “tolong supporter untuk tetap tenang”. Tetapi saya bertanya, lalu apa? jika sudah ada tata tertib, lalu dilanggar, lalu apa? akan lebih “beneran” jika moderator sampai berkata “ok silakan anda yang baju hijau di pojok sebelah situ untuk meninggalkan ruangan ini karena saya anggap berisik dan mengganggu.”, walau saya yakin mustahil bagi moderator kita melakukan hal tersebut. Poin 2: Kalau moderator hanya membacakan pertanyaan, mending Mehdi Hairi saja, kawan saya yang juga seorang jurnalis. Saya juga setuju jika debat pilpres lebih baik tidak dihadiri penonton. Kehadiran penonton di lokasi debat bukan hanya mengganggu acara debat secara keseluruhan karena riuhnya dukungan (dan ejekan), tapi juga mengganggu capres karena, dengan sendirinya, para capres akan merespon kondisi debat sebagai “ajang pertunjukan”. Mereka berlagak seperti penari sirkus di bawah lampu sorot. Mereka akan menyadari bahwa gerak-gerik, dan bahasa mereka either membangkitkan semangat pendukung di lokasi, atau mengejek pendukung lawan. Acara ini jadi ajang seru-seruan untuk dapat riuh tepuk tangan pendukung, bukan lagi fokus gagasan. Sebagai juri demokrasi, kita seharusnya merasa dilecehkan dengan gelagat capres yang menjadikan debat sebagai panggung tari. Nasib hidup mati kita ada pada ide, visi, gagasan, dan janji mereka, sementara mereka beretorika dan bergoyang untuk mendapatkan tepuk tangan massa. Poin 3: Debat bukan acara sirkus.
Sama seperti kebingungan saya kepada fungsi moderator, fungsi panelis pun membuat saya bingung. Dibacakannya setiap nama panelis. Saya kira nama besar mereka akan menjadi “penguji” atas besarnya gagasan para capres. Sayangnya mereka hanya dijadikan asisten sulap untuk mengambil bola undian saja. Betul, mereka yang membuat pertanyaan, namun pengujiannya di mana? disebut panelis bukannya justru untuk menguji? sangat disayangkan kita memiliki nama-nama besar sebagai panelis, namun “pengujiannya” hanya dilakukan di dalam hati masing-masing panelis. Kita tidak akan pernah tahu “jawaban ideal” yang ada di kepala para ahli tersebut sebagaimana mereka merumuskan pertanyaan untuk capres. Lagi-lagi, akhirnya panelis ini hanya menjadi asisten cantik pesulap yang tugasnya hanya menambah bumbu formalitas dan elegansi di panggung pertunjukan semata.
Bagian 2: On Democracy
Ini sudah menjadi keresahan saya sejak pilpres tahun 2019. Bahwa dari dulu, kita terjebak di dalam Procedural Democracy. Kita pikir, hanya dengan ajang pemilu setiap tahun menjadikan kita negara yang demokratis. Awalnya saya selalu berusaha memaklumi kondisi ini karena “kita adalah negara muda” jika dibandingkan dengan demokrasi Amerika Serikat yang sudah berumur lebih dari 200 tahun. Namun mungkin kali ini saya harus berhenti memakluminya. Karena, jangan-jangan, elit kita sudah bertransformasi untuk, justru, menjadikan “demokrasi” sebagai alat hegemoni agar bisa terus melanggengkan kekuasaan. Lihat saja bagaimana jawaban Prabowo ketika ditanya soal politik dinasti, “ya kita kembalikan ke rakyat, jika rakyat tidak setuju, tidak perlu pilih kami.”. Begitulah bagaimana demokrasi kita diolok-olok. Yang penting “rakyat yang memilih” itu satu-satunya tolak ukur demokrasi bagi mereka.
Sudah bosan juga saya memikirkan bagaimana pluralitas ide tidak berhasil tercermin dalam partai politik kita. Bagaimana antarsatu partai dengan partai yang lainnya, gagasannya sama-sama saja. Tahun 2019 saya pernah bertanya di acara forum bersama salah satu partai, mempertanyakan mengapa dari banyaknya partai politik kita, “ideologinya” hanya itu-itu saja, antara Nasionalisme atau Islamisme. padahal, makna demokrasi adalah kebebasan dalam bergagasan. Jika melihat politik di Amerika atau Inggris, kita akan menemukan bahwa antarpartai bukan hanya beda gagasan, namun juga beda pemahaman, sampai berbeda ideologi. Mereka yang ingin konservatif akan bertarung habis-habisan dengan progresif. Mereka yang ingin ideologi kristen habis-habisan bertarung dengan ideologi sekularisme. Mereka yang pro lingkungan akan bertarung habis-habisan dengan yang pro-industrialisme. Karena itu adalah substansi dari demokrasi. Demokrasi adalah “Arena”, bukan hanya prosedur. Dari Chantal Mouffe, ketika “arena perbedaan gagasan” itu tercipta dan berkontestasi, maka dengan sendirinya kita akan mencapai hasil terbaik. Senada dengan teori dialektika Hegel. Namun jika dari awal semuanya sudah homogen, sepakat, maka kita tidak akan bisa kemana-mana lagi. Saya masih tepok jidat dengan capres yang “saya setuju dengan pendapat anda”, lalu untuk apa saya harus memilih jika antarcapresnya memiliki ide yang sama.
Itulah mengapa, fenomena merapatnya Prabowo ke pemerintah pasca pilpres, berkoalisinya partai-partai yang dulu bersebrangan, menunjukan betapa buruknya kualitas demokrasi kita. Ini menunjukan bahwa mereka bukan membawa “gagasan”, tapi mereka berkompromi untuk mencapai kekuasaan. Karena jika memang betul membawa gagasan, mereka seharusnya berani mati untuk gagasan itu pula. Terdengar sangat idealis, namun cukuplah bagi kita untuk memaklumi semua omong-kosong soal politik yang fluid.
Bagian 3: On Ethics
Kita terlalu takut untuk berbeda. Mungkin ada yang berpendapat bahwa “lebih baik sama saja, lebih adem, lebih tentram.”, atau “kalau memang bagus, kenapa harus berbeda”. Saya kira ini adalah mentalitas kita saat ini. Terlihat “baik” karena memang budaya kita seperti ini. Maka harusnya kita jujur kepada diri kita sendiri, bahwa kita belum siap menjadi negara demokratis. Bagaimana bisa kita menamai diri kita demokratis tetapi alergi terhadap perbedaan. Lihat saja, betapa alerginya masyarakat kita terhadap “ideologi lain”. Padahal, dalam demokrasi, keterbukaan sebesar-besarnya atas perbedaan justru menjadi amunisi atas terciptanya dialog yang berkualitas. Kenapa? karena ketika kita membuka ruang perbedaan, justru di situ kita akan mampu memilih, berdebat, memutuskan, yang mengasah pola pikir individu kita agar lebih tajam dan kritis. Kita bisa melihat bagaimana FPI dilarang, buku karl marx diberangus, dan dialog-dialog mahasiswa dibubarkan. Sudah, jujur saja, memang kita secara sistemik (yang akhirnya memengaruhi pola pikir individual kita) menolak adanya perbedaan. (begini saja, jika dalam pikiran kita masih alergi ketika mendengar “komunisme”, maka kita masih anti terhadap perbedaan. Padahal dalam demokrasi, semua diperbolehkan memilih. Jika tidak setuju, silakan berdebat, pertajam data dan fakta, lalu tunjukan bahwa ideologi saya yang terbaik. selesai. bukan “komunisme”nya diberangus oleh aparat)
Dalam hal ini, saya sepakat dengan Tan Malaka dalam Madilognya. Harusnya kita menyampingkan terlebih dahulu nilai-nilai baik-buruk. Melainkan kita uji dengan dialog rasional-materialistik. Sudah cukup bagi kita menjadikan istilah “kita adalah masyarakat yang memiliki budaya timur” sebagai tameng atas ketidakmampuan kita berdialektika. Masyarakat yang maju bukan yang berdiam diri, tapi yang berani mengambil langkah progresif, menantang perbedaan dengan gagasan rasionalnya.
Berbicara tentang pilpres, dari dulu sampai sekarang, ya kita begini-begini saja. maka tidak aneh jika ada yang berpendapat “siapapun presidennya, hidup kita ya begini begini saja.” Karena, menurut saya, kita tidak berani mengambil langkah yang berbeda. Bahkan dari gagasan presiden, semuanya hampir sama-sama saja. yang membedakan adalah prioritasnya saja. Ketidakberanian kita melakukan bid pada perbedaan membuat kita tidak beranjak ke mana-mana. Coba kita lihat dari perbedaan Biden dan Trump. Bagaimana setelah banyaknya perang di zaman Obama, trump yang berseberangan dengan Obama langsung menyetop segala jenis perang fisik di luar Amerika. Ia menarik tentara-tentaranya di timur tengah setelah puluhan tahun berada di zona perang. Lalu memberikan gagasan kontroversial soal perbatasan Amerika-Mexico. Ketika Biden terpilih, yang juga kontras dengan Trump, Amerika kembali melakukan agresi militer. Konflik polandia-rusia, palestina-israel tidak terelakan. Lihatlah bagaimana perbedaan presiden membawa perbedaan yang sangat besar. Namun yang perlu kita lihat, keberanian melakukan Bid atas perbedaan itu justru membawa Amerika Serikat menjadi yang seperti sekarang kita lihat, leading. Selalu, High Risk-High Return. Jika kita masih menjadi negara yang bermain aman, selamanya kita hanya akan di sini-sini saja.
ps: perbedaan pandangan soal IKN pada pilpres perlu diapresiasi. itu yang sebenarnya ingin saya lihat dari capres kita. berani berbeda.
0 notes
Text
Ribuan Personel Gabungan dan Rekayasa Lalin Disiapkan untuk Amankan Debat Pilpres
Jakarta, Sumbarlivetv — Polda Metro Jaya mengerahkan 3.041 personel gabungan untuk mengamankan acara debat Pilpres 2024 yang digelar di Istora Senayan, GBK, Jakarta Pusat, Minggu (7/1) besok. “Untuk pengamanan kita kerahkan 3.041 personel gabungan,” kata Karo Penmas Divisi Humas Polri sekaligus Kabid Humas Polda Metro Jaya Brigjen Pol Trunoyudo Wisnu Andiko dalam keterangan tertulis, Sabtu…
View On WordPress
0 notes
Text
Infografis Debat Perdana Capres-Cawapres 2024
Infografis Debat Perdana Capres-Cawapres 2024 – Saat yang ditunggu publik tiba. Komisi Pemilihan Umum (KPU) siap menggelar debat perdana calon presiden atau capres di Pilpres 2024. Debat perdana capres digelar di Gedung KPU, Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat, Selasa 12 Desember 2023 mulai pukul 19.00 WIB. KPU menyiapkan 2 moderator dan 11 panelis untuk debat perdana tersebut. Ardianto Wijaya…
View On WordPress
#Ardianto Wijaya Kusuma#debat capres#debat capres 2024#debat capres cawapres 2024#debat cawapres#Debat Cawapres 2024#Debat Perdana Capres#Format Debat Pilpres 2024#Infografis#Ketua KPU Hasyim Asy&039;ari#KPU#pilpres 2024#Valerina Daniel
0 notes
Text
Siap Tampil dalam Debat Bacapres BEM UI, Pangi Chaniago: Anies Lebih Siap Tanding
JAKARTA | KBA – Pengamat politik dan Direktur Eksekutif Voxpol Center Research & Consulting Pangi Syarwi Chaniago mengapresiasi langkah Calon presiden (Capres) Anies Baswedan yang siap tampil dalam debat Bakal calon presiden (Bacapres). Dia menilai Gubernur DKI periode 2017-2022 itu lebih siap tanding dibanding dua pesaing politiknya yaitu Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto. Anies menyatakan…
View On WordPress
0 notes
Text
Debat capres #1
Semalam tadinya aku malas nonton debat, ya karna udah hopeless aja, mau ada debat atau gak, kemungkinan yang menang ya itulah, yang kampanye simpel makan siang susu yang disukai masyarakat akar rumput. Terus ternyata aku segabut itu untuk nonton selama 2.5 jam. Ditambah live komen di WA grup dengan teman-teman yang sama kritisnya.
Topiknya soal hukum dan HAM. Sesi 4 menit pertama, udah taulah ya yang bagus ngomongnya dan makjleb siapa. Sisa paslon malah meleber kemana-mana dari topik, dan bisa gak sih gausah teriak-teriak? wkwk.
Selama debat, counter argument-nya dari masing-masing paslon menarik. Yang jago ngomong jago counter argument akan tetap seperti itu, yang pasrah dengan topik karna emang merugikan buat dirinya "ya mau gimana lagi" dan memperlihatkan mimik kecapean berdiri terus, ditambah tantrum walau mengulang-ngulang kalimat "udahlah kita bukan anak kecil".
Topik hukum dan HAM, tapi pertanyaan bebas yang diajukan malah meleber ke polusi lah, ke IKN lah (ya walaupun ini berkaitan dengan Undang-undang). Mau nanya, ini timses nya emang cuma jago gimmick apa gimana? Kasian loh yang di podium, jadi bahan hujatan netizen twitter semalaman, bahkan sampe hari ini. Kasian buzzer akun gede centang biru buat dukung paslon nya, udah dibayar mahal tapi gak bisa baku hantam sama netizen yang masih bisa mikir.
Soal hukum dan HAM. Tadinya aku cuma sebatas tau "oh ada penculikan tahun 98, beberapa hilang belum tau ada dimana dan nasibnya gimana". Cuma sebatas itu. Sampai akhirnya semalam googling, cari detail kejadian kasus tersebut. Wow, serem sih, bukan cuma diculik, ternyata di-aniaya dsb. Pantesan disebut "tindak kejahatan berat".
Forum di X (twitter) itu cukup seimbang yang pros dan cons, beda sama platform sebelah (ig/tiktok) yang satu arus. Pasca debat, beberapa bilang, harus ada yang bikin resume debat tadi malam, diangkat ke tiktok, biar para genZ dan millenial yang 50% voters itu bisa lihat dan tau kasus/debat semalam, bukan cuma gimmick aja.
Any way, siapapun yang menang, kita berkontribusi terhadap negara ini akan gimana ke depannya. Semoga tulisan ini bisa terbaca oleh teman-teman yang apatis dengan per-pilpres-an tahun 2024.
13 Desember 2023
73 notes
·
View notes
Text
Refleksi Kelas Sosial #1
Tanpa akal yang rasional, sepertinya akan sedikit sulit untuk membedakan filsuf dan sofis di zaman sekarang yang penuh keumuman ini.
Sofis dikenal dengan kecerdasannya yang diperjualbelikan demi kekuasaan, bukankah di zaman sekarang banyak juga golongan sarjana yang seperti itu? Mereka menggunakan ilmunya untuk penghambaan materi semata. Tanpa menyelidiki apakah ilmunya digunakan untuk keadilan atau justru menyebabkan ketidakadilan. Lihat saja kasus UKT 2024 ini, birokrasi kampus yang katanya dipenuhi orang terdidik justru akal sehatnya diperdagangkan demi kepentingan pribadi bahkan keinginan itu didukung oleh instansi. Namun banyak juga orang yang mewajarkan, toh dosen dapat gaji dari mengajar wajar saja ukt mahal, belanya.
Sofis juga dikenal dengan retorikanya yang meyakinkan dan terkadang masuk akal namun dibalik itu justru mereka menyesatkan, bukankah pejabat-pejabat kita pun seperti itu? Ketika ada kebijakan yang kita rasa tidak sesuai dan malah mengacaukan kehidupan rakyat, tapi kebanyakan kita justru yakin-yakin saja, mudah percaya berkat kesederhanaan diri sang penguasa. Kita seolah-olah merasa pejabat itu berada di pihak kita, namun aslinya kita sedang dininabobokan oleh janji manis, kita musti sadar bahwa mereka cenderung menyembunyikan kebenaran yang tidak menguntungkan bagi kepentingannya. Lihat saja kasus-kasus perampasan kepemilikan tanah warga demi proyek besar, warga dijanjikan lapangan pekerjaan tetapi tak juga kunjung ada. Namun sebagian kita mewajarkan, toh pembangunan juga untuk kesejahteraan bersama, belanya.
Mirisnya lagi, di era informasi ini kebanyakan kita mulai sulit membedakan benar dan salah, contohnya pemilu 2024 kemarin, debat pilpres terasa tak berguna. Kebanyakan kita lebih tertarik dengan goyangan, makanan gratis, serangan fajar sad boy ehe, ketimbang narasi-narasi terkait kebijakan pemerintahan kedepan yang lebih masuk akal dalam mensejahterakan masyarakat. Pernyataan influencer ber-followers banyak lebih didengarkan, mudah viral ketimbang ahli ekologi, ahli hukum, dan guru besar lainnya yang mengkaji kebijakan-kebijakan para calon presiden. Namun, kebanyakan kita enggan peduli, toh yang penting pilih presiden yang gaul, kaya raya, banyak artis dipihaknya, nanti bagi-bagi duit lagi kalau sudah naik jadi presiden, belanya.
Di zaman yunani, filsuf bernama sokrates lah yang paling menunjukkan anti terhadap kaum sofis, walaupun pada akhirnya ia dihukumi sebagai pemberontak dan dipaksa membunuh dirinya dengan meminum racun, namun hal itu diterima oleh sokrates, sebab ia ingin menunjukkan betapa ia menjaga kebenaran yang ia pegang walaupun nyawa sebagai taruhannya. Perlu kita ketahui juga, sokrates berada pada kalangan orang berada sebab ibunya adalah seorang bidan, mungkin saja hal itu menjadi sebab wajarnya sokrates tidak takut ketika memberontak kebijakan pemerintah di yunani, berbeda halnya dengan sofis yang geraknya terbatasi sebab penghasilannya bergantung pada patuhnya ia ke penguasa. Liat saja guru-guru honorer saat ini yang gajinya sungguh tidak manusiawi, apakah mereka berani menyuarakan ketidakadilan pemerintah dengan perut kosong? Tentu tidakkan. Lihat saja sebagian dosen-dosen di negeri ini, jarang yang berani menentang kediktatoran birokrat apalagi pemerintahan sebab kehidupannya bergantung di tangan penguasa tersebut.
Ini mungkin akan membuatmu sedikit bingung.
Yah saat ini kebanyakan kita sulit membedakan filsuf dan sofis. Hingga wajar jika kebenaran terlihat hanya bersifat relatif. Terkadang sofis kita anggap sebagai filsuf, dan bisa jadi yang kita anggap filsuf justru berhati sofis. Tapi saya tidak menyudutkan sokrates yaa.. jangan salah paham, saya hanya ingin menjelaskan bahwa perjuangan juga butuh materi agar tak ada keterikatan dengan penguasa.
Pada akhirnya yang ingin saya sampaikan, menjadi manusia tidak cukup hanya dengan memiliki pikiran cerdas dan materi yang cukup, tetapi yang paling penting adalah bagaimana kita menggunakan pikiran dan materi itu dengan bijak.
Apakah kamu termasuk filsuf atau sofis di kehidupan ini?
4 notes
·
View notes
Text
15 Desember 2023
Gue dulu sebelum akhirnya mulai "kembali lagi ke keyakinan", agak percaya gak percaya tuh sama yang namanya konsep rezeki gak kemana. Kek gue tuh udah jadi si paling logika banget deh pokoknya. Gue yakin bisa mengandalkan kemampuan, pengalaman, sama sertifikasi buat dapet kerja. Gak perlu mahan-mohon minta segala.
Tapi kan belakangan ini tobat ya kan. Gue mulai kembali lagi percaya sama konsep agama dan alam semesta ini bekerja. Mulai meyakini kalo dunia ini gak semuanya tentang gue dan ada banyak hal sekali yang menyebabkan gue belum dapet kerja nyampe sekarang. Gak melulu harus jawabannya selalu dari gue yang tidak qualified dimana-mana. Mindset itu bikin gue jadi lebih legowo karena gue gak perlu merasa harus bisa mengontrol semuanya untuk mendapatkan apa yang gue mau. Gimanapun juga, gue gak bisa denial bahwa luck itu salahsatu faktor penting dari pencapaian seseorang.
Nah kemaren, kayaknya gue merasa gue lagi ketemu timing gue sama rezeki yang emang diperuntukkan buat gue itu.
Hari senin kemarin kan gue ke perpus. Mana ke perpusnya juga agak siangan, tapi tetep ke perpus tuh untuk mengurangi rasa bersalah karena masih nganggur. At least meskipun gue nganggur, gue gak leha-leha gitu. Di perpus selain baca sama riset buat proposal tesis, gue juga apply-apply lamaran di jobstreet. Gak cuma fulltime, internpun selama ada tulisan gajinya gue apply (meskipun cuma satu-dua juta tapi lumayanlah ya kan). Gue blind apply aja gitu. Asal apply dengan 1 cv marketing yang sengaja gue bikin general biar gak perlu customized cv lagi kalo mau apply beda perusahaan.
Selasa paginya, gue dikontek sama salahsatu perusahaan yang gue apply. Perusahaan inituh menaungi brand makeup focallure sama pinkflash. Gue ditanya masih berminat apa engga buat jadi content creator intern disana. Gue jawablah, masih. Terus gue disuruh buat ngisi form dan dikirim lagi ke dia maksimal hari rabu jam 12 siang.
Gue isi lah itu form ya kan. Mana malem rabu itu lagi debat pilpres pertama pula. Sambil ngisi sambil nonton tuh gue. Ini bukan pertama kalinya gue ngisi form gituan jadi gak berharap banyak sepanjang isi. Selesai semuanya di malem itu juga. Gue kirimnya rabu, jam 10.
HRDnya langsung request buat jadwalin interview di hari kamis. Sebenernya hari rabu itu tadinya gue mau ke perpus lagi, tapi gue bangun dalam keadaan demam karena flu berat. Gue iyain buat jadwal interviewnya karena toh gue juga udah minum obat flu sama antibiotiknya. Jadi kayaknya udah enakan juga. Kita deal ketemu interview hari kamis jam setengah 11.
Nah hari kamis ini, gue ngerasa sangat magical banget. Entah kenapa.
Gue bangun pagi masih nyala videocall-an sama gerry. Dari subuhan, mandi, nyampe siap-siap, itu google meet masih nyala. Bahkan gue make up an juga sambil dengerin gerry ngeluh soal tugas laporan dia yang susah. Terus video call mati karena gerry berangkat duluan di jam 7. Gue keluar kossan setengah 8. Sengaja lebih awal karena gak mau ketar-ketir mepet sama biar bisa selaw dengerin musik sepanjang jalan.
Dari kossan jalan ke halte, gue dengerin 2 musik; better up sama sonar. Sempet joget-joget mungil sepanjang jalan, sempet nyapa sama senyum juga ke satpam. Beda sama interview dulu-dulu, kemaren sepanjang perjalanan gue bener-bener gak mikirin atau khawatir kalo gue gak bisa jawab pertanyaan interview. Gue beneran ngerasa kalo kejawab syukur, gak kejawab yaudah gapapa.
Sepanjang jalan gue sempet scroll tiktok sama nyatet beberapa trend dan sound yang lagi hype in case di interview ditanyain perihal itu. Sisanya gue stalk sekilas mengenai perusahaannya. Bahkan gue sempet ketiduran 5 menitan di busway, saking ngerasa selawnya.
Gue turun di halte podomoro. Kantornyatuh nyatu sama mall central park. Tapi gue melipir dulu ke fotocopy-an terdekat sama ngopi bentar di lawson. Jam 10 setelah gue ke toilet, baru gue masuk gedungnya. Registrasi di lobby, naik lift, nyampe kantornya jam 10:15.
Gue di lift sendirian kan. Selama naik ke lantai 38 itu gue mikir, gue dari mulai berangkat nyampe barusantuh ngerasa kayak lagi "dibaikin" gitu sama semua orang. Dimulai dari satpam komplek kossan, petugas halte, kang fotocopy, mba-mba lawson, mba toilet, nyampe satpam gedungtuh kerasa kayak lebih ramah gitu nanggepin gue. Hari itu gue ngerasa ringan langkah sama dimudahin banget.
Nyampe kantor gue langsung ngabarin HRDnya kalo gue udah nyampe. Gak lama dijemput terus dibawa ke ruang interviewnya kan. Gue di interview sama dua orang, HRD sama user. Usernya cici-cici gitu. Ramah sekali. Sangat welcome dan interview kerasa kayak ngobrol santai vibesnya. Apalagi kan posisi yang gue apply marketing ya, gue sengaja gak menjadikan vibes ruangan kaku dan membuat diri gue lebih fun sepanjang interviewnya.
Interview selesai di jam 11 pas. Gue langsung pamit dari ruangan. Turun dari gedung dengan perasaan lega. Terus jalan ke halte lewat central park lagi. Sepanjang jalan gue sambil ngetik thankyou letter buat HRDnya. Gue mikir mau menutup interview tersebut dengan kesan yang baik terlepas dari gue diterima atau enggaknya.
Gue tuh tadinya rencana mau langsung lanjut ke perpus buat apply lagi ke perusahaan lain kan. Cuma gak lama gue send thankyou letternya, HRDnya ngebales. Ngucapin makasih juga. Tapi gak cuma itu, dia ngabarin kalo gue lolos. Diterima.
Gue nyampe nanya karena kek.... GAK ADA SEJAM UDAH DITERIMA AJA???
Gue langsung refleks nlp mama dan ngabarin sambil nunggu bis dateng. Gak lupa ngechat gerry dengan full capslock.
Di perjalanan pulang gue mikir, kayaknya ini kali ya yang namanya rejeki tuh gak bakal kemana. Karena sepanjang gue apply sama interview di perusahaan, interview itu tuh jujur prosesnya paling singkat dan sat-set. Gak ada basa-basi atau test kemampuan apalah itu. Gajinya juga lumayan, lock di 1,5. Buat jobdesc fokus di take konten, nulis caption, sama editing, best deal banget kalo dibandingin waktu gue magang di media sebelumnya yang ngerjain hampir seluruh proses pembuatan konten dengan nominal gaji cuma 1 juta.
Gue gak berharap banyak sih disana selain semoga gue cocok sama timnya, usernya, dan lingkungannya. Bahkan ya tolonglah gue pengen aja gitu rasanya berkarir disana setelah periode intern gue ini selesai. Gue pengen ngebangun relasi seluas-luasnya sama buktiin skill gue sih biar gue gak perlu ngalamin apply sana-sini lagi.
Dah gitu.
Jujur masih gak percaya gue senin first day as interns di focallure.
5 notes
·
View notes
Link
0 notes
Text
Ciri-Ciri Pendidik yang Mampu Menyediakan Pembelajaran Efektif dan Menyenangkan, PARDOMUANSITANGGANG.COM – Ciri-ciri pendidik yang mampu menyediakan proses pembelajaran yang efektif dan menyenangkan melalui interaksi aktif dan empatik serta memperhatikan kebutuhan belajar murid antara lain: 1. Menguasai Materi: Pendidik memiliki pemahaman mendalam terhadap materi yang diajarkan dan mampu menyampaikan dengan cara yang mudah dimengerti. 2. Keterlibatan Aktif: Pendidik mendorong partisipasi aktif murid melalui diskusi, tanya jawab, dan aktivitas kelompok. BACA JUGA : LIRIK LAGU LUPA PE AKKA NA LUPA LIRIK LAGU MANDUDA BAION LIRIK LAGU MARBORU SILEBAN LIRIK LAGU MARIMBANG 3. Empati: Pendidik menunjukkan pemahaman dan kepekaan terhadap perasaan dan kebutuhan murid, menciptakan lingkungan yang mendukung. 4. Metode Pembelajaran Variatif: Pendidik menggunakan berbagai metode pembelajaran untuk menjaga minat dan keterlibatan murid, seperti permainan edukatif, teknologi, dan proyek kreatif. 5. Umpan Balik Konstruktif: Pendidik memberikan umpan balik yang membantu murid memahami kesalahan mereka dan bagaimana cara memperbaikinya. 6. Komunikasi Efektif: Pendidik mampu berkomunikasi dengan jelas dan mendengarkan secara aktif, menciptakan dialog yang terbuka. 7. Penyesuaian Terhadap Kebutuhan Murid: Pendidik menyesuaikan metode pengajaran sesuai dengan kebutuhan dan gaya belajar masing-masing murid. BACA JUGA : BANK MANDIRI ADALAH SALAH SATU BANK TERBESAR DI INDONESIA DEBAT CALON PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN PILPRES 2024 TIKTOK SHOP ADALAH SOLUSI PERDAGANGAN TERINTEGRASI SEPENUHNYA PAJAK ONLINE ADALAH LAYANAN YANG DISEDIAKAN OLEH DIREKTORAT JENDERAL PAJAK UNTUK MEMUDAHKAN WAJIB PAJAK KPPS MERUJUK KEPADA KELOMPOK PENYELENGGARA PEMUNGUTAN SUARA 8. Menciptakan Lingkungan Positif: Pendidik menciptakan suasana kelas yang aman dan menyenangkan, dimana murid merasa nyaman untuk bereksplorasi dan belajar. 9. Penggunaan Teknologi: Pendidik memanfaatkan teknologi secara efektif untuk mendukung proses pembelajaran dan membuat materi lebih menarik. 10. Mengembangkan Kreativitas dan Kritis: Pendidik mendorong murid untuk berpikir kritis dan kreatif melalui tugas-tugas yang menantang dan relevan. Ciri-ciri tersebut mencerminkan pendekatan yang holistik dan berfokus pada murid, membantu menciptakan pengalaman belajar yang menyenangkan dan bermanfaat.
0 notes
Text
Cak Imin Menyesalkan Penghapus Debat Khusus Cawapres
JAKARTA – Calon Wakil Presiden (cawapres) nomor urut 1, Muhaimin Iskandar menyesalkan ditiadakannya debat khusus untuk cawapres dalam rangkaian Pemilu 2024. Pria yang karib disapa Cak Imin ini menyesalkan penghapusan debat untuk cawapres, tidak seperti lima tahun lalu saat Pilpres 2019. “Saya belum tau maksudnya apa? Kok perubahan itu terjadi, tentu kita menyesal itu terjadi. Tidak seperti lima…
View On WordPress
0 notes
Text
Joe Biden di Ujung Tanduk dalam Pilpres Amerika Serikat
INTERNASIONAL | Priangan.com – Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, tengah berada di bawah tekanan setelah penampilannya yang kurang memuaskan dalam debat dengan mantan Presiden, Donald Trump. Menurut laporan New York Times pada Rabu (3/7), Biden sedang mempertimbangkan langkah-langkah penting untuk mengatasi tantangan besar yang dihadapinya setelah debat yang buruk melawan Donald Trump. Pada…
0 notes
Text
Are we Watching Indonesian Democracy or Houses from Game of Thrones?
Melihat secara konseptual mengapa banyak masyarakat marah dengan partai politik di Indonesia.
Mungkin sudah banyak pengamat politik (bahkan yang tersohor dari luar negeri) menamakan demokrasi Indonesia sebagai Procedural Democracy. Saya coba uraikan salah satu poinnya berkenaan dengan kondisi kepartaian di Indonesia saat ini.
Berbeda dengan substantive democracy, demokrasi procedural memandang bahwa proses electoral menjadi nilai tertinggi dalam mendapatkan legitimasi. Seperti Namanya, procedural, maka di dalamnya memungkinkan banyak aspek-aspek yang justru agak sedikit kontra dengan nilai dasar dari demokrasi, salah satunya adalah kondisi kepartaian di Indonesia. Pada dasarnya, kehadiran partai adalah tanda terbesar dari sebuah negara yang menganut demokrasi. Partai adalah satu dari beberapa poin syarat sebuah negara dapat dikatakan menganut demokrasi. Kenapa seperti itu? Karena dalam konsep demokrasi rakyat memegang kekuasaan paling tinggi, sementara partai politik berfungsi sebagai tempat rakyat secara sah mempertarungkan kekuasaan. Partai politik pada dasarnya adalah sebuah “asosiasi” dari rakyat yang memiliki ide, gagasan, dan memiliki kekuatan untuk bertarung secara sah dalam posisi electoral. Maka saya tidak setuju dengan beberapa suara masyarakat (atau mahasiswa) yang berteriak “bubarkan saja partai”, atau melihat partai politik sebagai entitas elit yang kontra dengan masyarakat. Padahal dalam konsepnya, partai politiklah yang justru menjadi suara akumulatif masyarakat. Rakyat, pada dasarnya, membutuhkan partai politik untuk digdaya dalam negara demokrasi.
Meski begitu, saya memahami mengapa banyak masyarakat yang marah kepada partai politik saat ini. Terlebih lagi angka golput meningkat tajam setelah pilpres 2019 yang menunjukan ketidakpercayaan masyarakat terhadap calon yang dianggapnya “disandera partai” politik, yang padahal, partai politik adalah akumulasi dari suara dan keinginan rakyat. Alasan mendasar yang membuat partai Indonesia banyak tidak disukai masyarakat adalah karena, mereka-semua-sama-saja. Coba jelaskan apa perbedaan antara satu partai dengan partai yang lain? Gagasan utama mereka selalu sama. Bahkan Ketika penyampaian visi, tak jarang kita melihat mereka sama saja. Perbedaan baru terlihat di ranah kebijakan praktikal yang lingkupnya kecil. Ketika ditanya kebijakan tersebut dating dari mana, mereka membawa “ini suara rakyat”, rakyat yang mana? “rakyat Indonesia”, yang mana? Membingungkan. Membingungka karena semua berada pada spektrum ideologi yang sama. Setidaknya hanya ada dua ideologi di Indonesia, Nasionalis dan Islamis. Ini juga ditunjukan oleh table penelitian Burhanuddin:
Minimnya ideologi di Indonesia ini membuat kondisi partai politik kita sebenarnya sama saja. Ini juga menjelaskan mengapa berkoalisi antara parpol sangatlah mudah, bahkan dengan parpol yang awalnya bermusuhan. Ini juga sekaligus menjelaskan kenapa Jokowi bisa selalu berkata “saya sependapat dengan pak Prabowo” di momen debat presiden 2019. Bayangkan, sependapat dengan lawan politik di panggung debat presiden! Alamak. No, bukan berarti politik harus selalu bermusuhan. Namun demokrasi yang baik adalah yang dapat memberikan banyak alternatif opsi untuk kehidupan yang lebih baik. Jika sama-sama saja, buat apa kita memilih?
Alih-alih menawarkan opsi beragam untuk kehidupan yang lebih baik, saya mulai melihat partai-partai kita seperti Houses dari Game of Thrones. Dalam series favorit saya itu, ada beragam houses mulai dari Targeryen, Lannister, Stark, Baratheon, Greyjoy, Tyrell, Martyl dan lainnya. Mereka tidak didasarkan atas ideologi yang berbeda, satu-satunya yang menjadi pembeda dari setiap house adalah garis keturunannya saja. Lalu kemudian mereka bertarung untuk mendapatkan the Throne. Mereka mudah untuk bekerja sama ataupun mengkhianati house lain jika itu mendekatkan mereka kepada The Throne. (terlihat sama seperti partai Indonesia, bukan?)
Bahkan di Indonesia, partai pun banyak dibentuk dari garis keturunan. Perbedaan antara partai hanyalah siapa elitnya. Jadi sejatinya mereka tidak berasal dari “suara rakyat”, tapi dari elit yang ingin mendapatkan kekuasaan.
Berbeda dengan Indonesia, ideologi partai di negara negara Eropa dan Amerika sangatlah beragam. Mulai dari yang paling ekstreme konservatif, sampai ekstreme progresif. Mulai dari yang ekstrim agamis sampai yang ekstrim sekularisme. Kemauan mereka untuk berbeda, menghasilkan perdebatan yang memberikan banyak opsi untuk kehidupan. Contohnya debat pillpres di Amerika Serikat, Trump dari democrat yang konservatif tegas ingin menutup jalur imigran. Sementara biden dari liberalis yang progresif mendukung kedatangan imigran. Masyarakat diminta memilih mana yang lebih baik. Sangatlah jelas. Ada satu angin segar yang saya kira cukup baik untuk demokrasi kita saat pilpres 2024, yaitu pertentangan antara pro IKN dan kontra IKN. Sayangnya setelah pilpres berakhir, menjadi ambigu partai mana yang dulu menolak karena semuanya akhirnya setuju. Ya beginilah jika partai kita bukan dilandasi oleh ideologi dan idealisme yang kuat. Yang penting adalah mencapai kemenangan, bukan menciptakan gagasan yang kuat.
0 notes
Text
Memang saat pilpres kemarin kami ada beda pendapat. Luthfi emang sempat lebih ke pak gemoy, dengan berbagai analisis pulitiknya yang panjang lebar. Aku yang hampir mau golput karena merasa pilpres ngga ada guna, akhirnya memilih anies. Simply karena akhirnya ada juga capres yang kampanyenya mencerdaskan warga. Meski aku masih berharap dia yang menang tapi ternyata kalah, aku tetap bahagia karena aku memilih yang (at least menurutku) berusaha mencerdaskan bangsa.
Bagi Luthfi mungkin aku naif. Sering kami debat di meja makan soal ini wkwkwk. Hingga suatu hari aku bilang padanya, pokoknya sampai kapanpun ayah tetap harus pake nalar sehat dan hati nurani yang luhur. Jangan sampai kayak rektormu itu.
Luthfi menjelaskan panjang lebar tentang posisi antara akademisi dan politisi.
Lalu malam harinya ia bermimpi didatangi mantan rektornya itu. Dan dalam mimpinya orang ini bilang, Mas Luthfi, nanti kalau muncul, harus berpegang pada moral yaa...
Paginya dia cerita padaku dan dia bilang, kenapa malah dia yang berpesan begitu? Aneh. Dianya aja ga begitu.
Wkwkwkwkwk.
1 note
·
View note